Pakaian Jubah dalam Liturgi

Pakaian dan Warna dalam Liturgi
01. Pada Abad I sampai Abad ke-4.
Jemaat-jemaat Perjanjian Baru (gereja perdana) tidak mengenal adanya “pakaian liturgi”. Para pelayan khusus pada waktu itu memakai “pakaian biasa”, seperti yang dipakai oleh anggota jemaat yang lain. Baru pada abad ke-4 (thn 380) setelah kaisar Theodosius meresmikan gereja menjadi gereja Negara, para klerus (anggota jemaat yang mendapat “berkat tahbisan” = diakon, imam, uskup) diwajibkan mengenakan “pakaian liturgi” (toga, alba, single, amik, stola, kasula, dalmatic, superpli, pluviale, velum, palium) pada saat pelayanan. Para klerus pada waktu itu disamakan dengan pejabat-pejabat pemerintah. Mereka mendapat istana, pakaian jabatan, tongkat, cincin dan tanda-tanda kebesaran lain. Dalam ibadah para klerus memakai pakaian khusus (=pakaian liturgis) yang berbeda dengan anggota-anggota jemaat yang lain. Pakaian khusus ini kemudian dikembangkan menjadi “pakaian jabatan” gerejawi seperti yang masih dipakai sampai sekarang oleh para klerus dalam gereja Katolik Roma, Gereja Ortodoks.
02. Pada Masa Reformasi Martin Luther

Para reformator tidak begitu setuju dengan “pakaian jabatan” yang dipakai oleh para klerus dalam ibadah yang membedakan mereka dengan jemaat. Dasar pemikiran adalah  gereja tidak mengenal “hierarki” antara umat dan klerus; gereja sifatnya adalah “Imamat Am Orang-Orang Percaya”. Dengan dasar pemikiran ini pada tahun 1524, Marthin Luther menasihatkan supaya “pejabat-pejabat” gereja menjauhkan diri dari pakaian-pakaian indah dan mewah  terlebih menganggapnya sebagai pakaian yang lebih suci daripada pakaian-pakaian lain karena Tuhan tidak lebih berkenan kepada “pejabat-pejabat” gereja yang memakai “pakaian jabatan” daripada yang tidak memakai “pakaian jabatan”.
03. Perkembangan selanjutnya

Jubah Pendeta
Pada tahun 1524 Luther berkhotbah di Wittenberg dengan pakaian toga-sarjananya (bukan seperti pakaian para klerus) yang dinamai dengan “Schaube” dan dari  pakaian toga-sarjananya inilah timbul apa yang kemudian dalam gereja-gereja Lutheran disebut “talar injili” (=tunica talaris) yaitu baju toga (pakaian akademis) berwarna hitam sebagai baju biasa yang dikenakan oleh seorang sarjana. 
Baju ini terkenal hampir di seluruh Jerman. Juga di luar Jerman yaitu di Swiss dan di Prancis, jemaat-jemaat protestan menggantikan “pakaian jabatan” gereja Roma Katolik dengan pakaian “robe” (jubah panjang) yang biasa dipakai di Geneva pada waktu itu. Ketika Calvin berkhotbah dia mengenakan baju ini. Dan ini kemudian diikuti oleh badan-badan sending yang datang ke Indonesia. Gereja-gereja beraliran Reformeed (Calvinis) memakai “robe” (jubah panjang) dan gereja-gereja beraliran Lutheran memakai “toga” (jubah kesarjanaan = pakaian akademis). Tentang hal ini Luther memberikan kebebasan penuh kepada pengikut-pengikutnya dengan syarat kebebasan itu tidak disalah-gunakan.
Pada tahun 1854, Sinode Den Haag memutuskan bahwa toga harus dipakai oleh para pelayan dalam pelayanannya, namun itu bukan dipahami sebagai “pakaian jabatan” tetapi supaya kelihatan lebih khidmat: “pelayanan yang khidmat harus dilayani dalam pakaian yang khidmat”.
04. Sikap Para ahli Liturgi Tentang Pakaian Liturgi 1)
Kuyper ; tidak menyetujui adanya “Pakaian jabatan” dalam gereja karena itu adalah penyangkalan akan imamat-am-orang orang percaya. Kalaupun hal itu masih dipakai di dalam pelayanan-pelayanan gereja baiklah itu dipahami dan dianggap sebagai hasil dari suatu masa silam. Sebab letaknya kejahatan bukan pada pakaian yang berasal dari materi, tetapi dalam hati manusia.
Faber ; “pakaian jabatan” tidak mempunyai kuasa penyelamatan, tetapi dia juga berpendapat bahwa penyia-nyiaan “pakaian jabatan” dapat menganggap rendah nilai pelayanan. Di beberapa bagian dari Jerman pakaian-pakaian itu masih terus dipakai sampai sekarang, demikian pula di Swedia dan ditempat-tempat lain. Dia berpendapat bahwa pakaian mempunyai pengaruh suggestif atas daerah sekelilingnya, dalam hal ini atas jemaat.
Jubah Penatua
Van der Leeuw; Dia mengatakan bahwa ketika Zwingli (pada tahun 1523) dan Luther (pada tahun 1524) berkhotbah dalam pakaian akademis (=talar, tabberd, toga) mereka saat itu memutuskan hubungan dengan kebiasaan gerejawi. Tetapi hal itu tidak lama, karena “toga” segera dijadikan “pakaian liturgis” baru. Pakaian liturgis kita ialah toga dengan bef ; kita harus memakainya dalam tiap-tiap ibadah yang kita hadiri.  Alangkah baiknya juga kalau penatua-penatua dan diaken-diaken juga memakai “pakaian liturgis”.

05. Warna sesuai dengan tema perayaan liturgi
Putih ; umumnya dipandang sebagai simbol kemurnian, kesucian; ketidaksalahan, terang yang yang tak terpadamkan dan kebenaran mutlak. (digunakan pada masa Natal s/d Minggu Epifanias; Paskah; Minggu Trinitatis).
Merah ; Merupakan warna api dan darah. Warna merah ini dihubungkan dengan penumpahan darah para martir sebagai saksi-saksi iman sebagaimana Yesus sendiri menumpahkan darahNya bagi kehidupan dunia. Dalam tradisi Romawi Kuno warna merah merupakan symbol kuasa tertinggi. (digunakan pada Minggu Adven ke-3, Minggu Sengsara, Pentakosta).
Hijau ; dipandang sebagai warna yang tenang (kontemplatif), menyegarkan, melegakan dan memberi suasana pengharapan. (digunakan pada Minggu-minggu biasa).
Ungu ; merupakan symbol kebijaksanaan, keseimbangan, sikap berhati-hati dan mawas diri. (digunakan pada Masa Adven – Malam Natal; Pra-paskah).
Hitam ; symbol ketiadaan, kegelapan, pengorbanan, malam, kematian, dan kerajaan orang mati. Maka warna hitam dapat melambangkan kesedihan dan kedukaan hati. (digunakan pada Jumat Agung).

Komentar

PALING BANYAK DI BACA

Renungan Kisah Para Rasul 9:36

Ayat Renungan Harian Bulan Nopember Tahun 2020